Ditulis Oleh Bethavi Carolina
“Kau mau makan apa?”, ucap Marlina.
“Soto, eh sup ayam”, jawab Markus.
Marlina pergi ke dapur kemudian menarik kain yang menjadi penghalang antar dapur dengan ruang tamu yang berisi tujuh orang laki-laki. Di dapur marlina siap dengan tungku dengan api yang membara, ayam, bahan memasak sup lainnya, dan tidak lupa dengan buah beracun sebagai pelengkapnya.
Malam itu sekelompok laki-laki mendatangi salah satu rumah di pedalaman Sumba. Rumah seorang janda yang ditinggal mati lilitan utang suaminya. Utang tersebut juga memaksa janda bernama Marlina mau tidak mau mengawetkan mayat suaminya di dalam rumah, karena tidak memiliki uang untuk melakukan upacara kematian. Kedatangan mereka dengan maksud mengambil paksa harta ternak Marlina, berujung pemenggalan kepala.
“Malam ini kau adalah perempuan paling beruntung”, ucap Markus kepada Marlina.
Terbaginya film ini dalam empat babak rasanya berupa peringatan akan emosi yang dibawa. Film diawali oleh sebuah kalimat yang sarat akan makna pemerkosaan, yang nantinya menggambarkan respon seorang Marlina dalam menghadapi ketakutannya. Berbeda dengan wanita pada umumnya, Marlina akan bertindak sebagaimana masyarakat Sumba bertindak. Ia tidak segan memenggal sebagai wujud perlawanan. Selepas itu dengan air muka tanpa rasa bersalah sedikitpun, ia membawa kepala pemerkosa melewati lika-liku jalanan Sumba yang belum beraspal menuju tempat pengakuan dosa.
“Namamu siapa?”, tanya Marlina pada seorang gadis kecil.
“Topan.”, jawabnya sembari tersenyum.
Sekuat apapun wanita berusaha menjadi seorang yang tegar dalam situasi paling menguras emosi sekalipun, akan ada suatu hal yang akan meruntuhkan pertahanannya. Marlina dipertemukan dengan sesosok gadis yang membuatnya mampu luluh dalam tangis. Dipeluknya gadis itu dengan kuat, rasanya seperti tidak ingin ditinggal sedetikpun. Namun, tangisan Marlina yang menyayat hati itu kelak tergantikan dengan suara tawa lepas dan garis senyum paling lega. Meski hanya dapat bersua dalam waktu yang singkat untuk kemudian melanjutkan perjalanannya, ia menemukan seberkas kekuatan untuk kembali ke rumahnya. Tempat yang membuatnya seperti api di tungku dapurnya; tidak memiliki suara, kebebasan bertindak, dan lemah. Namun karena itulah ia punya tempat untuk terlihat berbeda di antara sekelompok pria yang dominan.
“Lu orang mau ambil apa kesini?”, tanya Novi.
“Saya cuma mau dia punya kepala kembali”, jawab Ferdinan.
“Mau masak apa?”, tanya Novi kembali pada Ferdinan
Dengan pandangan mata yang tidak lepas dari kepala Markus yang sudah disatukannya kembali tubuh Markus, Ferdinan menjawab, “Sup ayam.”
Marlina dan rumahnya tidak lain sebagai mula dari kuatnya dendam pembalasan Ferdinan. Sebelumnya ia tidak sempat mencicipi masakan Marlina karena harus lebih dulu pergi membawa harta ternak Marlina. Kembalinya Ferdinan ke rumah Marlina tidak lain karena tidak terima akan perlakuan Marlina terhadap Markus dan kawan-kawannya. Lantas ia kembali, kembali mengulang hal yang seharusnya terjadi dengan membawa harapan. Ferdinan dapat memerkosa Marlina dan memenggal kepalanya, sebagai balasan atas perlakuannya kepada Markus.
Sayangnya itu hanya harapan. Kedatangan Novi bak pahlawan adalah repetisi peristiwa sebelumnya. Kali ini ditambah dengan suara tangisan bayi, seolah-olah mengajarkan realitas kehidupan bahwa seorang bayi dapat lahir di saat lainnya merenggang nyawa.
Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak lebih dari film yang menceritakan tentang wanita ‘psikopat’ dengan latar budaya tanah Sumba. Banyak hal yang dapat dilihat di dalamnya, seperti penggunaan teknik kontemplatif sinema, analogi api, penggambaran keresahan yang sudah ada sejak lama, dominasi pria terhadap wanita, penggambaran women power, dan tidak lain bagaimana cerita disampaikan secara visual naratif. Hal yang memungkinkan penontonnya justru merasa jenuh, alih-alih menikmati suguhan sutradara.